Oleh: Muhammad Nur
Kepala Seksi Verifikasi dan Akuntansi
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Banda Aceh
BARU-BARU ini, seorang legislator dari Provinsi Aceh menyampaikan ke Menteri Keuangan, Sri Mulyani, dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) bahwa banyak desa/gampong di Aceh yang terkuras anggaran dana desa-nya untuk kegiatan yang kurang produktif, yaitu berupa pelaksanaan bimbingan teknis (bimtek) ke luar daerah (aceh.tribunnews.com, 26 Agustus 2022)
Menurut legislator tersebut, kegiatan semacam itu belum tentu bisa dipertanggungjawabkan efektivitas hasil kegiatan maupun efisiensi anggarannya. Kegiatan yang dinilai tidak efektif dan tidak efisien itu diadakan berulang setiap tahun dengan memakan biaya hingga Rp 50 juta per desa per tahun atau sekitar Rp 325,8 miliar per tahun untuk 6.516 desa/gampong di Aceh.
Jumlah itu hanya untuk satu provinsi. Bagaimana jika hal serupa terjadi di banyak provinsi di negeri ini? Tentu itu sebuah pemborosan anggaran yang sangat besar.
Implementasi program dana desa dimulai pada tahun 2015. Dana desa menjadi salah satu instrumen APBN untuk membantu unit pemerintahan dan wilyah terkecil yaitu desa, agar dapat merancang dan melaksanakan pembangunan yang sesuai dengan karakteristik desa masing-masing.
Sejak tahun 2015 hingga 2021, sebanyak Rp 400,1 triliun dana APBN telah disalurkan dalam program dana desa. Bahkan di masa pandemi Covid-19, dana desa telah menjadi salah satu instrumen penting dalam Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN).
Dimulai tahun 2020, sebagian porsi dana desa (sekitar 8 persen) dialokasikan untuk penanganan pandemi serta program ketahanan pangan di setiap desa, selain juga untuk Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT-DD).
Berdasarkan data tahun 2022 ini, ada 83.843 desa/kelurahan di seluruh Indonesia (bps.go.id). Dari jumlah tersebut, terdapat 75.961 desa yang berhak mendapatkan alokasi dana desa. Kelurahan, sesuai regulasi, tidak memperoleh anggaran dana desa.
Dalam struktur APBN, alokasi dana desa pada tahun 2020 dan 2021 sebesar Rp 72 triliun (djpk.kemenkeu.go.id; setkab.go.id). Jumlah ini tentu relatif besar bagi masyarakat desa untuk membangun desanya.
Jika setiap desa mengalami inefektivitas dan inefisiensi anggaran dana desa sebesar Rp 50 juta untuk kegiatan non-produktif, seperti yang dibeberkan di awal artikel itu, maka telah terjadi pemborosan anggaran sebesar Rp 50 juta dikalikan 75.961 desa, atau sama dengan Rp 3,798 triliun (5,28 persen dari total anggaran Dana Desa per tahun).
Pemanfaatan dana desa berdasarkan regulasi
Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Desa Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 7 Tahun 2021 menyatakan, dana desa diprioritaskan untuk beragam kegiatan:
- Pemulihan ekonomi nasional sesuai kewenangan desa (penanggulangan kemiskinan; pembentukan, pengembangan, dan peningkatan kapasitas pengelolaan BUMDes; serta pengembangan usaha ekonomi produktif);
- Program prioritas nasional sesuai kewenangan desa (pendataan desa, pemetaan potensi dan sumber daya, dan pengelolaan TIK; pengembangan desa wisata; penguatan ketahanan pangan; pencegahan stunting; serta pengembangan desa inklusif);
- Mitigasi dan penanganan bencana alam dan non-alam sesuai kewenangan desa (termasuk mewujudkan desa tanpa kemiskinan melalui BLT Dana Desa).
Berdasarkan regulasi di atas, kegiatan yang dilaksanakan dengan menggunakan dana desa seharusnya adalah kegiatan-kegiatan yang sifatnya produktif serta dapat mengoptimalkan peran serta masyarakat desa setempat dalam pembangunannya.
Program-program padat karya, misalnya pembangunan fisik seperti jalan, irigasi, saluran air, jembatan, rumah singgah, rumah sewa, dan sebagainya semestinya lebih diutamakan oleh aparatur desa.
Selain itu, usaha-usaha produktif lain seperti pinjaman modal berupa bibit dan pupuk kepada petani, penyertaan modal di usaha penggemukan sapi, atau pipanisasi air bersih ala PDAM juga dapat dilaksanakan oleh pihak desa dengan memanfaatkan dana desa.
Setiap desa juga sudah diwajibkan untuk mendirikan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). BUMDes diibaratkan sebagai unit usaha desa yang dapat menjadi salah satu potensi investasi dalam hal optimalisasi anggaran dana desa.
Inisiatif aparatur desa bersama warga dalam merancang kegiatan, pembangunan, atau inovasi apapun bagi kemajuan desa tentu sangat penting bagi perkembangan perekonomian serta kesejahteraan masyarakat desa.
Kejelian aparatur bersama warga dan manajemen BUMDes untuk melihat potensi sumber daya alam, SDM, serta kreativitas warga sangat penting.
Inovasi dan kreativitas aparatur desa bersama warga diharapkan dapat menjadi tradisi yang baik, sehingga peluang penyelewengan, penyalahgunaan anggaran, atau pemborosan dana desa untuk kegiatan non-produktif dapat dicegah dan dihindari.
Dalam perspektif ini, dan sesuai dengan regulasi yang ada, sebenarnya tidak ada salahnya menyelenggarakan kegiatan bimtek yang dianggarkan dari dana desa. Namun, perlu dilihat lebih jeli peruntukan, manfaat, dan efektivitas hasil kegiatan, serta efisiensi anggaran atas kegiatan yang diselenggarakan.
Kita sama-sama tahu, kompetensi dan kapasitas SDM (termasuk aparatur) di desa tidak merata dan seringkali menjadi ganjalan. Kegiatan semacam bimtek diharapkan dapat meningkatkan kompetensi dan kapasitas SDM desa.
Jika pihak desa memerlukan pengembangan pengetahuan masyarakat terkait cara mengolah hasil kebun, misalnya, tentu tidak ada salahnya diselenggarakan bimtek dengan mengundang pihak-pihak yang memang kompeten. Jika kegiatan dirancang sebaik-baiknya serta tidak ada niat “macam-macam” dari penyelenggara, seharusnya tidak terjadi inefektivitas dan inefisiensi anggaran dana desa.
Keterbatasan kompetensi dan kapasitas SDM desa seharusnya tidak menjadi area eskploitasi atau menjadi “arena bermain” bagi pihak-pihak tertentu, sehingga muncul kegiatan bimtek yang tidak efektif, tidak efisien, dan justru hanya menjadi pemborosan anggaran.
Partisipasi Masyarakat
Dalam pengelolaan dana desa, partisipasi masyarakat merupakan salah satu faktor penting. Dengandemikian, penyelenggaraan pembangunan di desa yang menggunakan dana desa dapat berjalan dengan baik.
Warga desa seharusnya tidak abai atas kondisi-kondisi yang terjadi di desanya. Masyarakat desa selaku “pemilik dana desa” seharusnya dapat selalu ikut serta, mengawasi, dan memantau aktivitas aparatur desanya.
Hal itu dapat diperkuat juga oleh aparatur pengawas, baik di pihak desa maupun dari pihak pemerintah daerah. Jika ditemukan kegiatan tidak produktif, pemborosan anggaran dana desa, apalagi berulang setiap tahun, sudah seharusnya masyarakat dan pihak Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) di pemda turun tangan.
Setidaknya, masyarakat dapat menegur, memperingatkan, atau melaporkan jika ada hal atau kegiatan yang di luar kewajaran.
Selain itu, edukasi kepada masyarakat juga perlu ditingkatkan. Masyarakat perlu mengetahui bahwa anggaran dana desa tidak selalu digunakan untuk kegiatan pembangunan fisik semata.
Dana desa juga dapat dimanfaatkan untuk kegiatan lain yang produktif, investasi, pinjaman modal, atau kegiatan lain yang dapat meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat desa, namun tetap sesuai dengan regulasi yang ada.
Warga perlu memahami (bahkan bisa sampai detail) terkait penggunaan dana desa di wilayahnya.
Transparansi aparatur desa juga memegang peranan penting pada konteks ini.
Partisipasi masyarakat sangat penting. Bagaimanapun, dana desa seharusnya memang dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk pembangunan desa serta peningkatan derajat perekonomian dan kesejahteraan masyarakat desa.
Disclaimer: tulisan ini adalah opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan organisasi tempat penulis bekerja saat ini.Tulisan ini telah diterbitkan di https://www.kompas.com/tren/read/2022/09/09/162207465/mengoptimalisasi-pemanfaatan-dana-desa?page=1/, 9 September 2022
0 Komentar