Oleh: Joko Arianto
Kepala Seksi Analisa Statistik dan Penyusunan Laporan Keuangan
Kanwil DJPb Provinsi Maluku Utara
Hari pertama tahun 2020, negeri ini dikejutkan dengan bencana banjir yang melanda wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Curah hujan tertinggi dalam 154 tahun terakhir yang berlangsung sehari disinyalir menjadi penyebab.
Besarnya dampak yang ditimbulkan atas peristwa tersebut mengundang perhatian berbagai pihak. Tak terkecuali Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian. Dalam sebuah wawancara seusai menghadiri rapat terbatas di Istana Negara, Mendagri menyatakan bahwa untuk mengatasi bencana banjir di Jabodetabek, pemerintah daerah dapat menggunakan dana dari Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA).
Apa itu SiLPA?
Dalam satu tahun anggaran, pemerintah menerima pendapatan dan mengeluarkan belanja untuk menjalankan fungsinya. Apabila belanja lebih besar dari pendapatan, disebut “defisit anggaran”. Bagaimana mengatasi defisit tersebut? Pemerintah terpaksa melakukan pinjaman/utang (disebut “Pembiayaan”). Apabila jumlah utang lebih besar dari “defisit” anggaran, maka akan terjadi sisa kelebihan uang yang tidak dibelanjakan. Dalam Laporan Keuangan sisa lebih ini disebut SiLPA. Akumulasi SiLPA dari tahun ke tahun disebut dengan istilah SAL (Saldo Anggaran Lebih) dan biasa juga disebut sebagai “tabungan” pemerintah. Apabila Tabungan/SAL telah cukup banyak, maka pembiayaan untuk mengatasi defisit anggaran dapat dilakukan tidak hanya melalui pinjaman, tapi dapat juga dengan mengambil SAL tersebut.
SiLPA dapat terjadi setidaknya dari empat hal dengan karakteristik yang berbeda.
Pertama, pendapatan yang melampaui target.
Hal ini merupakan angin segar bagi pemerintah untuk memperbesar ruang fiskal. Pada Pemerintah Daerah perlu memperhatikan pendapatan apa yang realisasinya di atas ekspektasi. Jika hanya dari pendapatan Transfer Pemerintah Pusat sementara Pendapatan Asli Daerah justru di bawah target, maka hal ini justru mengindikasikan penurunan tingkat kemandirian daerah.
Kedua, efisiensi belanja.
Sebagai pengelola kebijakan fiskal, pemerintah dapat mengetatkan belanja, misalnya untuk mengurangi inflasi atau meredam pertumbuhan ekonomi. Selain itu, penghematan belanja juga mungkin dilakukan untuk membiayai kebutuhan prioritas lainnya.
Ketiga, tidak tercapainya target belanja.
SiLPA karena faktor ini tentu tidak diharapkan terjadi karena menunjukkan kinerja penyerapan belanja yang tidak optimal, antara lain karena tata kelola keuangan yang tidak tertib seperti lemahnya perencanaan kegiatan, terdapat permasalahan dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa (lelang, ketersediaan barang, keterbatasan waktu pelaksanaan pekerjaan) dan lambatnya penyelesaian tagihan pihak ketiga. Tingginya nilai SiLPA karena tidak maksimalnya penyerapan belanja jelas bukan sebuah prestasi, karena masih menyisakan kewajiban yang harus dipenuhi pada tahun berikutnya.
Keempat, kelebihan penerimaan pembiayaan.
Pada prinsipnya, pembiayaan/utang harus dibayarkan kembali pada tahun-tahun berikutnya beserta biaya bunganya. Untuk itu, jumlah pembiayaan yang berasal dari utang harus dikelola jumlahnya dan pemanfaatannya untuk hal yang produktif seperti misalnya penyertaan modal pemerintah.
Penggunaan SiLPA Pada Pemerintah Daerah
Akumulasi SiLPA tahun-tahun anggaran sebelumnya atau SAL sebenarnya bukan sumber pembiayaan yang mudah untuk digunakan. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah mengatur bahwa SAL pada pemerintah daerah hanya dapat digunakan untuk tujuh hal. Pertama, menutup defisit anggaran. Ini hal yang lumrah dilakukan oleh sebagian pemerintah daerah terutama yang tidak banyak memiliki pilihan alternatif pembiayaan. Kedua, mendanai kewajiban pemda yang belum tersedia anggarannya. Ketiga, membayar bunga dan pokok utang atau obligasi daerah yang melampaui anggaran yang tersedia mendahului perubahan APBD. Keempat, melunasi bunga dan pokok utang. Kelima, mendanai kenaikan gaji dan tunjangan pegawai ASN akibat adanya kebijakan pemerintah. Keenam, mendanai program dan kegiatan yang belum tersedia anggarannya, dan ketujuh mendanai kegiatan yang capaian sasaran kinerjanya ditingkatkan dari yang telah ditetapkan dalam DPA SKPD tahun anggaran berjalan, yang dapat diselesaikan sampai dengan batas akhir penyelesaian pembayaran dalam tahun anggaran berjalan. Hal lain yang perlu diperhatikan, penggunaan SiLPA tahun sebelumnya untuk pendanaan pengeluaran harus diformulasikan terlebih dahulu dalam Perubahan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) SKPD serta Rencana Kegiatan Anggaran (RKA) SKPD.
Meskipun tidak serta merta dapat digunakan, jumlah SiLPA yang terlalu besar mengindikasikan belum optimalnya penggunaan instrumen APBD untuk meningkatkan perekonomian daerah dan memberikan layanan publik yang lebih baik. Memang belum ada persentase pasti berapakah nilai SiLPA ideal yang dapat disimpan sebagai bentuk motif berjaga-jaga, misalnya untuk mengatasi persoalan kebutuhan kas di awal tahun anggaran. Tapi, akumulasi SiLPA yang tinggi dapat menimbulkan opportunity cost meskipun disimpan dalam bentuk giro, deposito, dan tabungan. Jumlah simpanan yang cukup tinggi sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk penyertaan modal pemerintah pada perusahaan daerah, pembangunan infrastruktur yang diproyeksikan mampu memberikan kontribusi terhadap pendapatan daerah atau meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada dasarnya, SiLPA di akhir tahun anggaran setidaknya bernilai nol karena nilai SiLPA dihasilkan dari penjumlahan surplus/defisit selisih pendapatan dan belanja pemerintah dengan pembiayaan netto. Jika terjadi defisit anggaran maka entitas yang bersangkutan akan melakukan pembiayaan untuk menutupi kekurangan. Dalam kejadian ini, nilai SiLPA positif apalagi dengan nilai cukup besar dapat dianggap sebagai ketidakefisienan dalam menarik pembiayaan. Inefisiensi penarikan pembiayaan selanjutnya membawa dampak pada tingginya biaya yang harus ditanggung di masa depan.
SiLPA Pemerintah Daerah di Maluku Utara
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan per 19 Desember 2019, nilai SiLPA pemerintah daerah di Maluku Utara pada Laporan Keuangan tahun 2018 Audited hampir seluruhnya bernilai positif. Sementara itu tiga pemda yaitu Kota Ternate, Kabupaten Pulau Morotai, dan Kabupaten Pulau Taliabu memiliki nilai SiLPA negatif atau dikenal dengan SiKPA (Sisa Kurang Pembiayaan Anggaran). Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sula tercatat memiliki SiLPA tertinggi pada tahun 2018 yang mencapai 82 milyar rupiah. Nilai ini lebih dari tiga kali lipat Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang diperoleh mereka pada tahun yang sama. Dua pemda lainnya yang memiliki rasio SiLPA dibandingkan dengan PAD di atas seratus persen yaitu Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah dan Kabupaten Halmahera Barat yang masing-masing sebesar 164% dan 103%.
Upaya Meningkatkan Kualitas Pengelolaan Keuangan
SiLPA bukan sepenuhnya berarti dana menganggur. Oleh karena itu, banyaknya faktor yang menyebabkan selisih antara penerimaan dan pengeluaran perlu menjadi perhatian pemerintah.
Hal pertama yang perlu dilakukan yaitu meningkatkan kualitas perencanaan anggaran dari sisi penerimaan serta pengeluaran, misalnya dengan memperhatikan kondisi makro perekonomian. Pemerintah juga harus meninggalkan model penganggaran konservatif dengan melihat prioritas pembangunan daerah. Selanjutnya, pemerintah perlu memperbaiki kinerja penyerapan anggaran dan mengawal pelaksanaannya agar sesuai dengan perencanaan. Apabila terdapat hal yang berpotensi menghambat penyerapan, misalnya perubahan kebijakan, maka agar segera dimitigasi resiko tersebut atau implementasinya dapat diterapkan pada tahun berikutnya.
SiLPA yang didapatkan dari pengelolaan keuangan yang berkualitas diharapkan mampu menjadi tambahan ruang fiskal, sehingga implementasi kebijakan yang berpihak pada rakyat dapat berjalan dengan lebih baik.
(Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan organisasi)
Tulisan ini telah terbit di Malutpost tanggal 28 Februari 2020
1 Komentar
Mengapa SLPA ini kok diharus kan nol sementara itu kan sisa daripada pengeluaran daerah atau belanja daerah sementara itu kal sal dari pada pembangunan yang sudah selesai.swharusnya sal itu diguna kan untuk membangun atau membantu masyarakat yang tidak mampu ..tapi kenapa di kabupaten Kutai barat ini sal itu di bilang tidak ada dan selalu divisit sementara pemerinta sebelum nya sangatlah banyak meninggalkan silpa.dan mengapa tidak ada tim awdit dari Mentri keuangan dari pusat ke kabupaten Kutai barat veropinsi Kalimantan timur
BalasHapus